Asal muasal Kabupaten Garut
Sejarah Kabupaten Garut berawal dari pembubaran Kabupaten Limbangan pada tahun 1811 oleh Daendels dengan alasan produksi kopi dari daerah Limbangan menurun hingga titik paling rendah nol dan bupatinya menolak perintah menanam nila (indigo). Pada tanggal 16 Pebruari 1813, Letnan Gubernur di Indonesia yang pada waktu itu dijabat oleh Raffles, telah mengeluarkan Surat Keputusan tentang pembentukan kembali Kabupaten Limbangan yang beribu kota di Suci. Untuk sebuah Kota Kabupaten, keberadaan Suci dinilai tidak memenuhi persyaratan sebab daerah tersebut kawasannya cukup sempit.
Berkaitan dengan hal tersebut, Bupati Limbangan Adipati Adiwijaya (1813-1831) membentuk panitia untuk mencari tempat yang cocok bagi Ibu Kota Kabupaten. Pada awalnya, panitia menemukan Cimurah, sekitar 3 Km sebelah Timur Suci (Saat ini kampung tersebut dikenal dengan nama Kampung Pidayeuheun). Akan tetapi di tempat tersebut air bersih sulit diperoleh sehingga tidak tepat menjadi Ibu Kota. Selanjutnya panitia mencari lokasi ke arah Barat Suci, sekitar 5 Km dan mendapatkan tempat yang cocok untuk dijadikan Ibu Kota. Selain tanahnya subur, tempat tersebut memiliki mata air yang mengalir ke Sungai Cimanuk serta pemandangannya indah dikelilingi gunung, seperti Gunung Cikuray, Gunung Papandayan, Gunung Guntur, Gunung Galunggung, Gunung Talaga Bodas dan Gunung Karacak.
Saat ditemukan mata air berupa telaga kecil yang tertutup semak belukar berduri (Marantha), seorang panitia "kakarut" atau tergores tangannya sampai berdarah. Dalam rombongan panitia, turut pula seorang Eropa yang ikut membenahi atau "ngabaladah" tempat tersebut. Begitu melihat tangan salah seorang panitia tersebut berdarah, langsung bertanya : "Mengapa berdarah?" Orang yang tergores menjawab, tangannya kakarut. Orang Eropa atau Belanda tersebut menirukan kata kakarut dengan lidah yang tidak fasih sehingga sebutannya menjadi "gagarut".
Sejak saat itu, para pekerja dalam rombongan panitia menamai tanaman berduri dengan sebutan "Ki Garut" dan telaganya dinamai "Ci Garut". (Lokasi telaga ini sekarang ditempati oleh bangunan SLTPI, SLTPII, dan SLTP IV Garut). Dengan ditemukannya Ci Garut, daerah sekitar itu dikenal dengan nama Garut.. Cetusan nama Garut tersebut direstui oleh Bupati Kabupaten Limbangan Adipati Adiwijaya untuk dijadikan Ibu Kota Kabupaten Limbangan.
Pada tanggal 15 September 1813 dilakukan peletakkan batu pertama pembangunan sarana dan prasarana ibukota, seperti tempat tinggal, pendopo, kantor asisten residen, mesjid, dan alun-alun. Di depan pendopo, antara alun-alun dengan pendopo terdapat "Babancong" tempat Bupati beserta pejabat pemerintahan lainnya menyampaikan pidato di depan publik. Setelah tempat-tempat tadi selesai dibangun, Ibu Kota Kabupaten Limbangan pindah dari Suci ke Garut sekitar Tahun 1821. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal No: 60 tertanggal 7 Mei 1913, nama Kabupaten Limbangan diganti menjadi Kabupaten Garut dan beribu kota Garut pada tanggal 1 Juli 1913. Pada waktu itu, Bupati yang sedang menjabat adalah RAA Wiratanudatar (1871-1915). Kota Garut pada saat itu meliputi tiga desa, yakni Desa Kota Kulon, Desa Kota Wetan, dan Desa Margawati. Kabupaten Garut meliputi Distrik-distrik Garut, Bayongbong, Cibatu, Tarogong, Leles, Balubur Limbangan, Cikajang, Bungbulang dan Pameungpeuk.
Pada tahun 1915, RAA Wiratanudatar digantikan oleh keponakannya Adipati Suria Karta Legawa (1915-1929). Pada masa pemerintahannya tepatnya tanggal 14 Agustus 1925, berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal, Kabupaten Garut disahkan menjadi daerah pemerintahan yang berdiri sendiri (otonom). Wewenang yang bersifat otonom berhak dijalankan Kabupaten Garut dalam beberapa hal, yakni berhubungan dengan masalah pemeliharaan jalan-jalan, jembatan-jembatan, kebersihan, dan poliklinik. Selama periode 1930-1942, Bupati yang menjabat di Kabupaten Garut adalah Adipati Moh. Musa Suria Kartalegawa. Ia diangkat menjadi Bupati Kabupaten Garut pada tahun 1929 menggantikan ayahnya Adipati Suria Karta Legawa (1915-1929).
Perkembangan Fisik Kota
Sampai tahun 1960-an, perkembangan fisik Kota Garut dibagi menjadi tiga periode, yakni pertama (1813-1920) berkembang secara linear. Pada masa itu di Kota Garut banyak didirikan bangunan oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk kepentingan pemerintahan, berinvestasi dalam usaha perkebunan, penggalian sumber mineral dan objek wisata. Pembangunan pemukiman penduduk, terutama disekitar alun-alun dan memanjang ke arah Timur sepanjang jalan Societeit Straat.
Periode kedua (1920-1940), Kota Garut berkembang secara konsentris. Perubahan itu terjadi karena pada periode pertama diberikan proyek pelayanan bagi penduduk. Wajah tatakota mulai berubah dengan berdirinya beberapa fasilitas kota, seperti stasiun kereta api, kantor pos, apotek, sekolah, hotel, pertokoan (milik orang Cina, Jepang, India dan Eropa) serta pasar.
Periode ketiga (1940-1960-an), perkembangan Kota Garut cenderung mengikuti teori inti berganda. Perkembangan ini bisa dilihat pada zona-zona perdagangan, pendidikan, pemukiman dan pertumbuhan penduduk.
Keadaan Umum Kota
Pada awal abad ke-20, Kota Garut mengacu pada pola masyarakat yang heterogen sebagai akibat arus urbanisasi. Keanekaragaman masyarakat dan pertumbuhan Kota Garut erat kaitannya dengan usaha-usaha perkebunan dan objek wisata di daerah Garut.
Orang Belanda yang berjasa dalam pembangunan perkebunan dan pertanian di daerah Garut adalah K.F Holle. Untuk mengenang jasa-jasanya, pemerintah Kolonial Belanda mengabadikan nama Holle menjadi sebuah jalan di Kota Garut, yakni jalan Holle (Jl.Mandalagiri) dan membuat patung setengah dada Holle di Alun-alun Garut.
Pembukaan perkebunan-perkebunan tersebut diikuti pula dengan pembangunan hotel-hotel pada Tahun 1917. Hotel-hotel tersebut merupakan tempat menginap dan hiburan bagi para pegawai perkebunan atau wisatawan yang datang dari luar negeri. Hotel-hotel di Kota Garut , yaitu Hotel Papandayan, Hotel Villa Dolce, Hotell Belvedere, dan Hotel Van Hengel.
Di luar Kota Garut terdapat Hotel Ngamplang di Cilawu, Hotel Cisurupan di Cisurupan, Hotel Melayu di Tarogong, Hotel Bagendit di Banyuresmi, Hotel Kamojang di Samarang dan Hotel Cilauteureun di Pameungpeuk. Berita tentang Indahnya Kota Garut tersebar ke seluruh dunia, yang menjadikan Kota Garut sebagai tempat pariwisata.
Penetapan Hari Jadi Garut
Sebagaimana sudah disepakati sejak awal, semua kalangan masyarakat Garut telah menerima bahwa hari jadi Garut bukan jatuh pada tanggal 17 Mei 1913 yaitu saat penggantian nama Kabupaten Limbangan menjadi Kabupaten Garut, tetapi pada saat kawasan kota Garut mulai dibuka dan dibangun sarana prasarana sebagai persiapan ibukota Kabupaten Limbangan. Oleh karena itu, mulai tahun 1963 Hari Jadi Garut diperingati setiap tanggal 15 September berdasarkan temuan Tim Pencari Fakta Sejarah yang mengacu tanggal 15 September 1813 tersebut pada tulisan yang tertera di jembatan Leuwidaun sebelum direnovasi. Namun keyakinan masyarakat terhadap dasar pengambilan hari jadi Garut pun berubah. Dalam PERDA Kabupaten Garut No. 30 Tahun 2011 tentang Hari Jadi Garut, dinyatakan bahwa Hari Jadi Garut dipandang lebih tepat pada tanggal 16 Februari 1813.
Penelusuran hari jadi Garut berpijak pada pertanyaan kapan pertama kali muncul istilah “Garut”. Seperti dijelaskan dalam Latar Belakang di atas, bahwa ungkapan itu muncul saat “ngabaladah” dalam mencari tempat untuk ibukota Kabupaten Limbangan yang diperintahkan R.A.A Adiwijaya sebagai Bupati yang dilantik pada tanggal 16 Februari 1813. Fakta tentang Jembatan Leuwidaun yang peletakkan batu pertamanya adalah tanggal 15 September 1918 juga tetap diperhitungkan. Dengan demikian, asal mula tercetus kata “Garut” adalah diyakini berada pada sebuah hari antara 16 Februari 1813 s.d. 15 September 1918.
BUPATI GARUT DARI MASA KE MASA
Deskripsi Bupati Garut dari Masa ke Masa
Sejak periode Kabupaten Limbangan baru yang beribukota di Suci sebagai cikal bakal Kabupaten Garut sampai dengan periode setelah muncul nama resmi “Kabupaten Garut”, terdapat 23 bupati yang pernah menjabat.
Seperti yang telah dijelaskan dalam halaman Sejarah Singkat Garut, pembentukan Kabupaten Limbangan-baru berdasarkan Surat Keputusan Raffles sebagai Letnan Gubernur (Lieutenant Governor) di Indonesia adalah tanggal 16 Februari 1813. Bupati yang menjabat pada saat itu adalah RAA Adiwijaya (1813-1831), karena itu jika perhitungan masa pemerintahan Kabupaten Garut berawal dari sini maka RAA Adiwijaya merupakan Bupati Garut yang pertama.
Sejak 1 Juli 1913 Kabupaten Limbangan diganti menjadi Kabupaten Garut yang terjadi pada masa pemerintahan periode ke-4 sejak 1813, yaitu masa Bupati RAA Wiratanudatar (1871-1915), berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal tanggal 7 Mei 1913 (Staatsblad Van Nederlandsch-Indie No.356: Besluit van den Gouverneur-General van Nederlandsch-Indie van 7 Mei 1913 No. 60). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa RAA Wiratanudatar merupakan Bupati pertama yang memimpin wilayah pemerintahan dengan nama Kabupaten Garut.
Pada tanggal 14 Agustus 1925, berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal, Kabupaten Garut disahkan sebagai daerah pemerintahan yang berdiri sendiri (otonom). Ini terjadi pada masa pemerintahan RAA Soeria Kartalegawa yang menjadi Bupati ke-5 sejak 1813 atau Bupati ke-2 sejak muncul nama Kabupaten Garut. Oleh karena itu, RAA Soeria Kartalegawa merupakan bupati pertama yang memimpin Kabupaten Garut sebagai daerah otonom.
Pada zaman kolonial Belanda, pergantian bupati yang berlaku di Kabupaten Garut identik dengan yang berlaku di kerajaan-kerajaan kuno Indonesia, yaitu bila Bupati meninggal atau berhenti karena hal tertentu, maka yang berhak menggantikannya adalah putera laki-laki tertua atau menantu laki-laki. Kalau pun tidak demikian, penggantinya masih memiliki hubungan darah atau kekerabatan yang dekat. Dari masa ke masa, tercatat bupati pertama RAA Adiwijaya (1813-1831) digantikan oleh puteranya RAA Kusumadinata (1831-1833) sebagai bupati kedua. Lalu bupati kedua diteruskan oleh menantunya Tumenggung Jayadiningrat (1833-1871) sebagai bupati yang ketiga. Masih memiliki ikatan kekeluargaan, bupati ketiga digantikan oleh RAA Wiratanudatar (1871-1915) sebagai bupati yang keempat. Selanjutnya bupati keempat digantikan oleh keponakannya Adipati Suria Kartalegawa (1915-1929) yang menjadi bupati kelima. Kemudian ia diteruskan oleh puteranya Adipati Moh. Musa Suria Kartalegawa (1929-1944) sebagai bupati keenam.
Dalam sejarah Garut, tercatat periode Bupati terlama yang memimpin hingga mencapai lebih dari 40 tahun yaitu RAA Wiaratanudatar (1971-1915). Sedikitnya ada tiga orang Bupati yang memimpin kurang dari satu atau dua tahun seperti R. Tumenggung Endung Suriaputra (1944-1945) atau Letkol Akil Ahyar Masyur (1966-1967).
Sejarah juga mencatat, bahwa sejak pemilihan bupati berdasarkan periode waktu, belum terdapat Bupati Garut yang memegang masa jabatan lebih dari satu periode.
Foto Bupati Garut dari Masa ke Masa
2013 (pw H. Aceng HM Fikri,S.Ag)
|
Dan sekarang H. RUDY GUNAWAN sebagai bupati sekarang.
Potret Garoet Tempo Doeloe
Potret Garut Masa Kini
Garut Panorama © Uban (TrekEarth.com) |
Smokin' Papandayan © Uban (TrekEarth.com) |
Kampung Sampireun "Flower Boat Hut" © Uban (TrekEarth.com) |
Harvesting Vegetables © Klaus Dinkelacker |
Mountain View near Garut © Klaus Dinkelacker |
Senja di Garut © tian.photos.us.com |
Senja di Karang Paranje © Pemkab Garut |
Papandayan Unknown Source |
Leuweung Sancang © Pemkab Garut |
Mesjid Agung © Pemkab Garut |
Pendopo © Pemkab Garut |
Babancong © Pemkab Garut |
Tugu Intan © Pemkab Garut |
Tugu Perjuangan © Pemkab Garut |
Sudut Kota © Pemkab Garut |
Selamat Datang di Garut © Pemkab Garut |
Cipanas kaki Guntur © Pemkab Garut |
Panas Bumi Darajat © Pemkab Garut |
Lambang Daerah |
Tentang
Lambang Daerah Kabupaten Garut
Pasal 1:
Lambang Daerah adalah suatu lukisan yang mempunyai bentuk tertentu dan terlukiskan nilai-nilai potensi alam wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Garut.
Lambang Daerah adalah suatu lukisan yang mempunyai bentuk tertentu dan terlukiskan nilai-nilai potensi alam wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Garut.
Pasal 2:
(1)
|
Bentuk dan ukuran
Lambang Daerah ialah sebuah perisai bersudut 3, bergaris
tepi kuning tua yang merupakan bingkai dengan ukuran
lebar 3 dan tinggi 4.
|
|
(2)
|
Lukisan :
|
|
|
a.
|
Langit biru pada bagian atas perisai.
|
|
b.
|
Bintang bersudut 5 warna kuning emas bersinar
|
|
c.
|
Gunung, warna biru tua,
berpuncak 5 yang menggambarkan Gn.Talagabodas, Gn. Cakrabuana,
Gn. Cikuray, Gn. Papandayan, dan Gn. Guntur
|
|
d.
|
Sungai, dilukiskan dengan
3 garis putih, yang menggambarkan 3 sungai besar di
daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Garut, yaitu Sungai
Cimanuk, Cikandang, dan Cilaki.
|
|
e.
|
Gelombang laut, 2 buah garis
berwarna biru laut menggambarkan batas Selatan Kabupaten
Garut merupakan Samudera Indonesia yang
bergelombang besar.
|
|
f.
|
Hamparan berwarna hijau
tua pada perisai bagian bawah menggambarkan keadaan
tanah di Kabupaten Daerah Tingkat II Garut yang subur.
|
|
g.
|
Sebuah Jeruk Garut, berwarna
kuning jeruk yang merupakan hasil spesifik dari Kabupaten
Daerah Tingkat II Garut yang disebut dimana-mana
dengan sebutan Jeruk Garut.
|
(3)
|
Kelengkapan, berupa
pita merah yang terletak di bawah menyangga perisai,
kedua ujungnya terdapat lipatan dan tertulis huruf putih
berbunyi
"TATA TENGTREM KERTARAHARJA" |
Visi dan Misi
Kabupaten Garut
VisiKabupaten Garut
Terwujudnya Garut Pangirutan Yang Tata Tengtrem Kerta Raharja Menuju Ridho Allah SWT (Penjelasan)
Misi
• | Mewujudkan Penyelenggaraan Pemerintah Yang Amanah, Yang Menjunjung Tinggi Supremasi Hukum, Demokrasi dan Ham; |
• | Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia; |
• | Meningkatkan Kualitas Kehidupan Beragama; |
• | Menggali dan Memanfaatkan Sumber Daya Alam dan Buatan Dengan Memperhatikan Kelestarian Lingkungan; |
• | Memberdayakan Sistem Ekonomi Kerakyatan Yang Bertumpu Pada Potensi Lokal dan Mekanisme Pasar; |
• | Mewujudkan Garut Sebagai Daerah Agribisnis, Agro Industri; |
• | Mewujudkan Garut Sebagai Daerah Pariwisata Disertai Pelestarian dan Pengembangan Seni Budaya Lokal. |
Strategi
• | Peningkatan kualitas kemampuan dan profesionalisme aparatur pemerintah untuk mewujudkan “Good Governance”; |
• | Penegakkan supremasi hukum, demokrasi dan hak azasi manusia; |
• | Peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan melalui pengembangan pendidikan melalui pengembangan pendidikan formal dan pendidikan luar sekolah; |
• | Peningkatan kualitas dan kuantitas sarana prasarana dan pelayanan kesehatan masyarakat; |
• | Peningkatan kualitas kehidupan beragama, fasilitas peribadatan dan pendidikan keagamaan; |
• | Pengelolaan sumber daya alam dan buatan dengan memperhatikan aspek manfaat dan resiko terhadap lingkungan; |
• | Optimalisasi penataan ruang dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan; |
• | Peningkatan kualitas dan kuantitas pertanian dengan memanfaatkan teknologi yang ramah lingkungan; |
• | Pemberdayaan dan pengembangan usaha kecil menengah dan koperasi; |
• | Peningkatan sarana dan prasarana transportasi, Pos dan Telekomunikasi, Komunikasi dan Media Massa untuk menunjang pembangunan yang berkelanjutan; |
• | Peningkatan dan pengembangan sarana, prasarana, serta sumber daya manusia; |
• | Pemeliharaan dan pengembangan seni budaya sebagai identitas daerah; |
• | Pengentasan kemiskinan melalui penciptaan kesempatan kerja dan penanganan daerah tertinggal. |
KHAS DAERAH GARUT
Jeruk Garut
|
Citra
Kabupaten Garut sebagai sentra Produksi Jeruk di Jawa Barat khususnya
dan nasional pada umumnya, diperkuat melalui Surat Keputusan Menteri
Pertanian Nomor : 760/KPTS.240/6/99 tanggal 22 Juni 1999 tentang Jeruk
Garut yang telah ditetapkan sebagai Jeruk Varietas Unggul Nasional
dengan nama Jeruk Keprok Garut I. Penetapan tersebut pada dasarnya
menunjukkan bahwa Jeruk Garut merupakan salah satu komoditas pertanian
unggulan nasional yang perlu terus dipertahankan dan ditingkatkan
kualitas maupun kuantitas produksinya.
|
Sudah sejak lama, jeruk
Garut telah popular dan menjadi trademark Kabupaten Garut. Oleh karena
itu, sesuai dengan Perda No. 9 Tahun 1981, jeruk garut telah dijadikan
sebagai komponen penyusun lambang daerah Kabupaten Garut. Selain sebagai
buah ciri khas Kabupaten Garut, jeruk merupakan komoditas sub-sektor
pertanian tanaman pangan yang mempunyai prospek cukup cerah dengan nilai
ekonomis yang cukup tinggi.
Sebagai komoditas unggulan khas daerah, Jeruk Garut mempunyai peluang tinggi untuk terus dikembangkan karena keunggulan komparatif dan kompetitifnya serta adanya peluang yang masih terbuka luas. Dengan berbagai usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksinya, Jeruk Garut akan mampu bersaing dengan produk sejenis baik pada tingkat l nasional seperti halnya Jeruk Medan, Jeruk Pontianak serta jeruk impor seperti Jeruk Mandarin dan Jeruk New Zealand. Investasi pada komoditas ini cukup prospektif dan dapat memberikan nilai tambah ekonomis yang cukup tinggi baik bagi para petani maupun investornya. Dari studi kelayakan yang dilakukan pada tahun 1997 menunjukkan, untuk tanaman jeruk seluas 1 Ha (sekitar 500 pohon) akan memberikan gambaran keuntungan riil pada tahun ke-4 sebesar Rp 39.966.000,00 Sebagai daerah sentra produksi jeruk, Pemerintah Kabupaten Garut yang didukung oleh pihak-pihak terkait terus berusaha untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produksinya. Saat ini belum ada sumber yang melaporkan kapasitas jeruk garut secara spesifik. Menurut petani jeruk yang dihubungi pihak garut.go.id, pada masa jayanya, daerah penghasil Jeruk Garut terbaik adalah daerah Cigadog, Wanaraja yang kini masuk ke dalam wilayah Kecamatan Sucinaraja. Sumber tersebut mengakui kejayaan Jeruk Garut musnah ketika daerahnya diselimuti abu hasil letusan Gunung Galunggung yang ketebalannya mencapai 1 meter lebih. Saat ini, komoditas jeruk garut umumnya terselip di antara tanaman jeruk siam/keprok yang tersebar di beberapa wilayah Kabupaten Garut. Kecamatan Pasir Wangi dan Samarang merupakan salah satu Kecamatan prioritas pemulihan Jeruk Garut. Adapun ilustrasi kapasitas produksi jeruk keprok/siam di Kabupaten Garut adalah sebagai berikut: |
Tahun
|
Tanaman Menghasilkan
|
Produksi
|
Hasil per Pohon
|
(pohon)
|
(kw)
|
(kg)
|
|
2005
|
176.694
|
8.736
|
17,36
|
2006
|
384.599
|
8.119
|
46,9
|
Sumber: Dinas Tanaman Pangan, Holtikultura, dan Perkebunan
|
Perlu diakui bahwa kejayaan Jeruk Garut dulu tidak bisa dirasakan seutuhnya kini. Sebagai gambaran kejayaannya, pada akhir tahun 1987 populasi jeruk masih tercatat 1,3 juta pohon yang tersebar di lahan seluas kurang lebih 2.600 hektar dengan jumlah produksi yang dihasilkan kurang lebih 26.000 ton/tahun. Namun, dalam kurun waktu 5 tahun kemudian, populasinya menurun drastis. Pada akhir tahun 1992 tinggal sekira 52.000 pohon. Sehingga tidaklah mengherankan kalau saat ini, kita tidak melihat deretan penjual jeruk Garut di sepanjang jalan Bandung - Garut, atau kita tidak akan menemukan pedagang asongan di dalam bis yang menjajakan jeruk Garut asli..
Menurunnya populasi jeruk Garut secara extrim lebih diutamakan karena serangan penyakit citrus vein phloem degeneration (CVPD) yang bersumber dari sebuah bakteri (bukan virus) bernama lybers bacteri aniaticum. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan peneliti Jepang, Prancis, dan LIPI diketahui bahwa bakteri yang menggerogoti tanaman jeruk tidak menular lewat tanah ataupun biji yang diambil dari tanaman jeruk yang terserang penyakit, tetapi ditularkan melalui serangga sejenis kutu loncat jeruk (diaphorina citry). Kutu loncat jeruk menularkan penyakit dengan cara mengisap cairan daun berpenyakit, kemudian mengisap daun jeruk yang sehat. Sekarang tinggal bagaimana memberantas serangga penular secara efektif agar penyakit ini tidak menyebar luas.
Terungkapnya sumber penyakit ini, membuat Pemkab Garut melangkah pasti dalam melakukan upaya rehabilitasi jeruk Garut yang salahsatunya melakukan upaya pengembangan produksi di lokasi nonendemis.. Upaya dari Pemkab Garut dan para petani itu perlahan tetapi pasti sudah mulai menampakkan hasil. Kini, telah ditanam kembali lebih dari 400.000 pohon jeruk atau sekira 40% dari target di atas lahan seluas 1.000 ha yang tersebar di Kecamatan Samarang, Pasirwangi, Bayongbong, Cisurupan, Cilawu, Karangpawitan, Pameungpeuk, Cikelet, Cisompet, dan Cibalong. Semoga upaya ini akan mengembalikan kembali produktivitas Jeruk Garut sebagai salah satu identitas Kabupaten Garut.
Domba Garut
|
Domba Garut telah dibudidayakan masyarakat Garut sejak lama. Domba yang memiliki fisik yang besar dan kuat ini, melahirkan seni atraksi laga domba yang di daerah Bayongbong Garut. Domba Garut merupakan hasil persilangan segitiga antara domba asli Indonesia, domba Merino dari Asia Kecil dan domba ekor gemuk dari Afrika. Domba ini dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Domba Garut, yang dikenal juga dengan sebutan domba priangan. |
- Badan agak besar. Domba jantan dewasa mempunyai bobot 60-80 kg, sedangkan yang betina mempunyai bobot 30-40 kg.
- Domba jantan memiliki tanduk yang cukup besar, melengkung kearah belakang, dan ujungnya mengarah kedepan sehingga berbentuk seperti spiral. Pangkal tanduk kanan dan kiri hampir bersatu.
- Domba betina tidak memiliki tanduk.
- Ekornya pendek dan pangkalnya agak besar (gemuk).
- Lehernya agak kuat.
- Bentuk telinganya ada yang panjang, pendek dan sedang yang terletak dibelakang pangkal tanduk.
- Bulunya lebih panjang dan halus jika dibandingkan dengan domba asli, berwarna putih, hitam, cokelat, atau kombinasi dari ketiga warna tersebut.
- Domba ini baik untuk penghasil daging.
Teknologi yang dibutuhkan
untuk memelihara Domba Garut, baik usaha peternakan maupun usaha
penggemukan sangat sederhana, meliputi penentuan lokasi, perkandangan
dan perlengkapan. Penentuan lokasi peternakan domba perlu memperhatikan
dan mempertimbangkan faktor lingkungan, sumber daya alam, faktor
sosial, faktor ekonomi dan faktor hukum yang mendukung pembudidayaan
domba itu sendiri. Kebijakan Pemda Kabupaten Garut telah menetapkan
lokasi peternakan Domba Garut yang meliputi Kecamatan Wanaraja,
Kecamatan Banyuresmi, Kecamatan Singajaya, Kecamatan Banjarwangi,
Kecamatan Cikajang, Kecamatan Bungbulang, dan Kecamatan Cisewu sebagai
sentra produksi domba pedaging. Meskipun belum ada data spesifik
terhadap populasi domba Garut, dapat dijelaskan bahwa populasi ternak
domba secara keseluruhan di Kabupaten Garut selalu tinggi dan tertinggi
di antara jenis ternak besar lainnya setiap tahunnya. Berdasarkan data
yang tercatat di Dinas Peternakan, populasi ternak domba saat ini
mencapai angka 416.158 ekor. Angka ini meningkat dibanding tahun-tahun
sebelumnya yang belum mencapai angka 400.000.
Dodol Garut
Dodol Garut merupakan
salah satu komoditas yang telah mampu mengangkat
citra Kabupaten Garut sebagai penghasil Dodol yang berkualitas
tinggi dan beraneka ragam jenis Dodol yang diproduksi. Dodol
Garut ini dikenal luas karena rasanya yang khas
dan kelenturan yang berbeda dari produk yang
sejenis dari daerah lain.
|
Industri ini berkembang
sejak tahun 1926, oleh seorang pengusaha yang bernama
Ibu Karsinah dengan proses pembuatan yang sangat
sederhana dan terus berkembang hingga saat ini, hal
ini disebabkan karena :
Rata-rata kapasitas produksi per tahun adalah
4.378 ton. Adapun potensi industri Dodol Garut pada
tahun terakhir tercatat sebagai berikut :
|
Uraian
|
Formal
|
Non Formal
|
Jumlah
|
Jumlah Unit Usaha (Unit)
|
43
|
58
|
101
|
Tenaga Kerja (Orang)
|
1.245
|
1.257
|
2.502
|
Investasi (000 Rp)
|
617.200
|
415.150
|
1.032.350
|
Nilai Produksi (000 Rp)
|
25.849.330
|
17.460.600
|
43.309.930
|
Wujud Produksi
|
Dodol ketan, kacang, susu, coklat, wijen, dan dodol buah-buahan
|
||
Daerah pemasaran
|
Pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera, Bali , Brunai, Malayasia, Jepang, Arab Saudi, Singapura, Inggris.
|
||
Sumber : Dinas Perindagkop & UKM Kabupaten Garut
|
Batik Tulis Garutan
|
Kegiatan dan usaha pembatikan
di Garut merupakan warisan nenek moyang yang berlangsung turun
temurun dan telah berkembang lama sebelum masa
kemerdekaan. Pada tahun 1945 Batik Garut semakin
popular dengan sebutan Batik Tulis Garutan dan
mengalami masa jaya antara tahun 1967 s.d. 1985
(126 unit usaha).
|
Dalam perkembangan berikutnya produksi
Batik Garutan mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh
semakin pesatnya batik printing/batik cap,
kurangnya minat generasi penerus pada usaha batik
tulis, ketidaktersediaan bahan dan modal, serta
lemahnya strategi pemasaran.
Batik garutan umumnya digunakan untuk kain
sinjang, namun berfungsi juga untuk memenuhi
kebutuhan sandang dan lainnya. Bentuk motif batik
Garut merupakan cerminan dari kehidupan sosial
budaya, falsafah hidup, dan adat-istiadat orang Sunda.
Beberapa perwujudan batik Garut secara visual dapat digambarkan
melalui motif dan warnanya.
Berdasarkan pemikiran yang melatarbelakangi penciptaan batik Garut, maka motif-motif yang dihadirkan berbentuk geometrik sebagai ciri khas ragam hiasnya. Bentuk-bentuk lain dari motif batik Garut adalah flora dan fauna. Bentuk geometrik umumnya mengarah ke garis diagonal dan bentuk kawung atau belah ketupat. Warnanya didomiansi oleh warna krem dipadukan dengan warna-warna cerah lainnya yang merupakan karakteristik khas batik garutan. Saat ini pengolahan batik garutan terkonsentrasi di Garut Kota. Rata-rata kapasitas produksi per tahun adalah 1.600 potong. Adapun potensi industri Batik Tulisan Garutan pada tahun terakhir tercatat sebagai berikut : |
Uraian
|
Formal
|
Non Formal
|
Jumlah
|
Jumlah Unit Usaha (Unit)
|
3
|
5
|
8
|
Tenaga Kerja (Orang)
|
25
|
25
|
50
|
Investasi (000 Rp)
|
30.000
|
20.000
|
50.000
|
Nilai Produksi (000 Rp)
|
450.000
|
238.000
|
688.000
|
Wujud Produksi
|
Produk Sandang, Sinjang, Kain Bahan, dll
|
||
Daerah pemasaran
|
Jakarta , Bandung , Bali , dll
|
||
Sumber : Dinas Perindagkop & UKM Kabupaten Garut
|
Jaket Kulit
|
Salah satu komoditas
andalan dari pengrajin kulit di Kabupaten Garut
adalah produksi pakaian jadi dari kulit dan jaket kulit sapi
(agak keras) dan domba (lentur), yang di kalangan tertentu
khususnya di lingkungan bisnis fashion terkenal dengan
sebutan “Jaket Kulit Garut”.
Faktor pendukung terwujudnya sentra industri
jaket kulit ini diantaranya adalah ketersediaan
bahan baku. Sumber bahan baku di Kabupaten Garut cukup melimpah
dengan lokasi yang strategis, berdekatan bahkan menyatu
dalam lingkungan sentra industri kecil penyamakan
kulit.
|
Selain itu letak geografis Kabupaten
Garut yang dekat dengan kota Bandung sebagai pusat
perdagangan pakaian jadi dan Jakarta sebagai pusat
perdagangan nasional, memungkinkan pelaku bisnis
untuk terus serius meningkatkan produksi jaket
kulit karena mudah dipasarkan.
Saat ini di sektor industri pakaian jadi dari
kulit di Kabupaten Garut tergabung 417 unit usaha formal dan non
formal, dengan menyerap kurang lebih 3.000 tenaga kerja. Dalam proses
pendataan Dinas Perindustrian Perdagangan dan KUKM Kabupaten Garut
pernah tercatat jumlah produksi per tahun Jaket Kulit Mulus adalah
sekitar 50.000 potong dan Jaket Kulit Sambung sekitar 200.000 potong.
Adanya permintaan terhadap jaket kulit yang terus meningkat dari daerah
di luar Kabupaten Garut (pasaran lokal maupun nasional) seperti dari
Bandung, Jakarta atau beberapa kota di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali
maupun Sumatera telah mendorong pengrajin jaket kulit di Kabupaten
Garut tumbuh dan berkembang lebih cepat dibandingkan pengrajin kulit di
daerah-daerah lainnya.
Selain memenuhi permintaan konsumen lokal dan
nasional, Jaket Kulit Garut juga sudah merambah ke pasar internasional,
seperti Singapura, Malaysia, Taiwan, Jepang, dll. Data terakhir,
jaket kulit Garut diekspor ke Singapura, Malaysia, Taiwan dan Australia
dengan volume mencapai 9.488 potong senilai $448.464. Ini menunjukan
peningkatan ekpor yang cukup membaik dimana volume ekspor sebelumnya
mencapai 5.100 potong senilai US$258.651,0
Hambatan yang dihadapi adalah teknologi
pengolahan untuk percepatan proses produksi dan
lemahnya pengendalian kualitas terhadap komoditas
barang yang dihasilkan sehingga dapat mempengaruhi
kinerja citra komoditas yang sudah terbentuk. Jika hambatan
ini tidak diatasi, maka pengrajin kulit Garut akan kalah
bersaing dengan pengrajin kulit dari daerah lain
yang ironisnya justru mengolah kulit tersamak dari
Garut.
Saat ini, sebagian besar pengrajin jaket kulit
berada di sentra industri kulit Sukaregang di
Kecamatan Garut Kota dan Desa-desa di sekitar Kec. Garut Kota. Data
terakhir yang diperoleh berkenaan dengan industri
pengolahan pakaian jadi dari kulit di Kabupaten Garut
adalah sebagai berikut:
|
Uraian
|
Formal
|
Informal
|
Jumlah
|
Unit Usaha
|
75
|
342
|
417
|
Tenaga Kerja
|
821
|
2.132
|
2.953
|
Investasi (000 Rp)/tahun
|
404.000
|
1.710.000
|
2.114.000
|
Nilai Produksi (000 Rp)/tahun
|
27.406.200
|
30.500.000
|
57.906.200
|
Sumber : Dinas Perindagkop & UKM Kabupaten Garut
|
Kulit Tersamak
Tingginya populasi dan
kapasitas produksi ternak besar di Kabupaten Garut,
mengawali tumbuh kembangnya industri kecil/rumahan
pengolahan kulit tersamak di Kabupaten Garut yang saat ini
menjadi salah satu nominatif terbesar di Indonesia. Permintaan
kulit tersamak Garut dari berbagai daerah di Indonesia
terus meningkat sejalan dengan peningkatan
kreativitas para pelaku kerajinan kulit, khususnya
kulit sapi dan domba dalam menciptakan keragaman
komoditas hasil olahan dari bahan kulit.
|
Letak geografis Kabupaten Garut yang
berdekatan dengan kota Bandung dan sekitarnya sebagai sentra
pengolah pakaian jadi, sepatu, sandal, tas, dompet,
dan komoditas lain dari kulit yang sangat produktif,
juga turut memacu produktivitas penyamakan kulit di
Kabupaten Garut. Setidaknya hal ini dapat diamati
dari peningkatan jumlah unit usaha dan kapasitas produksi
yang terjadi setiap tahun.
Dari tahun ke tahun, permintaan kulit tersamak
Garut datang dari berbagai daerah dalam lingkup
nasional dan regional. Data terakhir dari Dinas Perindustrian,
Perdagangan, Koperasi dan KUKM Kabupaten Garut, kulit
tersamak Garut telah diekspor ke Malaysia, Taiwan,
Cina dan Singapura dengan volume sebanyak 1.850.000 Sqf senilai
1.887.408 US$.
Rata-rata kapasitas produksi per tahun adalah
7.659.250 kg/ 9.360.000 sqf. Adapun potensi industri penyamakan kulit
per tahun adalah sebagai berikut :
|
Uraian
|
Formal
|
Non Formal
|
Jumlah
|
Unit Usaha
|
20
|
330
|
350
|
Tenaga Kerja
|
255
|
1.495
|
1.750
|
Investasi (000 Rp)
|
15.500.000
|
15.238.080
|
30.738.080
|
Nilai Produksi (000 Rp)
|
60.000.000
|
50.315.100
|
110.315.100
|
Sumber : Dinas Perindagkop & UKM Kabupaten Garut
|
Minyak Akarwangi
Minyak Akarwangi (Vetiver Root Oil/Andropogon Zizanioides),
merupakan salah satu komoditas khas unggulan daerah
Kabupaten Garut yang relatif masih baru,
sebagaimana halnya dengan teh hijau dan tembakau
yang merupakan bagian dari sub-sektor perkebunan.
Minyak Akarwangi mempunyai prospek yang cerah untuk terus
dikembangkan karena mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif
serta masih terbukanya pangsa pasar, baik pasar
domestik maupun pasar luar negeri.
|
Budi daya Akarwangi di Kabupaten Garut
didasarkan pada keputusan Bupati Kabupaten Garut Nomor :
520/SK.196-HUK/96 tanggal 6 Agustus 1996, yang diantaranya menetapkan
luas areal perkebunan Akarwangi dan pengembangannya oleh masyarakat
seluas 2.400 Ha dan tersebar di empat kecamatan , yaitu kecamatan
Samarang seluas 750 ha, Kecamatan Bayongbong seluas 210 ha, Kecamatan
Cilawu seluas 240 ha, dan Kecamatan Leles seluas 750 ha. Dari luas
areal pengembangan tersebut, luas yang digarap pada setiap tahunnya
mencapai rata-rata 12.400 ha dengan menghasilkan minyak akar wangi
rata-rata sebanyak 54 ton. Dalam setahun tercatat 2.400 Ha luas
garapan perkebunan akar wangi memproduksi minyak sebanyak 72 Ton,
dengan rincian sebagai berikut :
|
Kecamatan
|
Ha
|
Ton
|
Cilawu
|
240,00
|
7,20
|
Bayongbong
|
210,00
|
6,30
|
Samarang
|
750,00
|
22,50
|
Pasirwangi
|
450,00
|
13,50
|
Leles
|
750,00
|
22,50
|
Jumlah
|
2.400,00
|
72,00
|
Kegiatan pengembangan
Akarwangi melibatkan 4.027 orang anggota masyarakat (Kepala Keluarga)
yang terdiri dari 1.964 orang sebagai pemilik dan 2063 orang sebagai
petani/penggarap. Mereka tergabung dalam 28 Kelompok Tani yang tersebar
di Kecamatan Samarang dan Pasirwangi 18 Kelompok Tani, Leles 5 Kelompok
Tani, Cilawu 4 Kelompok Tani dan Bayongbong 1 Kelompok Tani. Jumlah
pengolah atau penyuling sebanyak 33 unit yang tersebar di Kecamatan
Samarang dan Pasirwangi 21 unit, Leles 9 unit, Bayongbong 1 unit dan
Cilawu 2 unit.
Sebagai salah satu bahan dasar untuk pembuatan
parfum dan kosmetika lainnya, pemasaran minyak
akarwangi sampai saat ini tidak mengalami hambatan
yang berarti. Produksi minyak Akarwangi Garut sesuai
dengan kapasitas yang dimilikinya semuanya terserap
pasar dengan harga yang memadai (harga sesuai dengan
harga yang berlaku), Meskipun demikian, sebenarnya harga tersebut
masih bisa dioptimalkan lagi, jika kualitasnya pun
dioptimalkan.
Sampai saat ini sesuai dengan data yang ada,
pasar luar negeri yang menyerap produk Minyak Akarwangi Garut adalah
para pengusaha dari kawasan Asia, Eropa dan Amerika khususnya
negara-negara seperti Singapura, India, Jepang, Hongkong, Inggris,
Belanda, Jerman, Italia, Swiss, dan Amerika Serikat. Peluang ekspor
untuk pemasaran minyak Akarwangi yang juga masih cukup terbuka khususnya
ekspor untuk kawasan Asia Selatan dan Asia Timur, Eropa Timur dan
Amerika Selatan. Apalagi jika diingat bahwa jumlah produsen atau negara
pesaing di pasaran internasional masih sangat terbatas.
Saat ini hanya negara Tahitti dan Borbon yang mengbangkan jenis komoditi yang sama. Hasil produksi Minyak Akarwangi asal Kabupaten Garut termasuk nominatif dunia, tetapi produksinya masih sangat terbatas baik dalam teknologi maupun permodalannya. Pada tahun terakhir nilai penjualan ekspor komoditas minyak akarwangi adalah sebesar 23.520 kg senilai 1.516.208,00 US$. Meskipun volume nilai ekspor mengalami kenaikan dari yang semula bernilai 1.175.920,00, namun kapasitas produksi ekspor menurun dari tahun sebelumnya yang mencapai 29.100 kg.
Beberapa masalah yang muncul berkaitan dengan
pengembangan komoditas minyak Akarwangi antara lain:
Saat ini hanya negara Tahitti dan Borbon yang mengbangkan jenis komoditi yang sama. Hasil produksi Minyak Akarwangi asal Kabupaten Garut termasuk nominatif dunia, tetapi produksinya masih sangat terbatas baik dalam teknologi maupun permodalannya. Pada tahun terakhir nilai penjualan ekspor komoditas minyak akarwangi adalah sebesar 23.520 kg senilai 1.516.208,00 US$. Meskipun volume nilai ekspor mengalami kenaikan dari yang semula bernilai 1.175.920,00, namun kapasitas produksi ekspor menurun dari tahun sebelumnya yang mencapai 29.100 kg.
- Jalur tata niaga komoditas Akarwangi masih terlalu panjang, khususnya jika dikaitkan dengan keberadaan para broker (calo);
- Kurangnya kerjasama diantara sesama pemilik/pengelola penyulingan, keterbatasan pemilik modal, dan akses terhadap permodalan;
- Keterbatasan penguasaan teknologi yang memadai, sehingga kualitas minyak Akarwangi yang dihasilkan relatif masih rendah.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi
masalah yang ada seperti restrukturisasi jalur tata
niaga, pembentukan koperasi atau Kelompok Usaha
Bersama (KUB), dukungan permodalan baik melalui
kemitraan maupun lembaga keuangan yang ada, serta
peningkatan teknologi penyulingan, diharapkan dapat segera
mewujudkan peningkatan nilai tambah pendapatan bagi petani
dan pengelolanya, yang pada gilirannya akan meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Pada Tahun 2008 telah berdiri unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) kerjasama Pemerintah Kabupaten dengan Departemen Perindustrian yang menyediakan fasilitas pembinaan terhadap UKM Minyak Akarwangi diantaranya : Steam Boiler, Laboratorium
Pada Tahun 2008 telah berdiri unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) kerjasama Pemerintah Kabupaten dengan Departemen Perindustrian yang menyediakan fasilitas pembinaan terhadap UKM Minyak Akarwangi diantaranya : Steam Boiler, Laboratorium
Tidak ada komentar:
Posting Komentar